Menyikapi
Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Timur Tengah
"Selamatkan Mesir!", "Kembalikan
Mursi!" "Hancurkan Al Sisi!", begitu pekik ribuan massa yang
tergabung dalam Masyarakat Magelang Peduli Kemanusiaan (MMPK) saat menggelar
aksi solidaritas untuk Mesir di pertigaan Palbapang Mungkid, Kabupaten
Magelang, Jumat siang (23/8/2013). Dalam orasi, mereka menuntut Presiden SBY
dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk berperan aktif mengembalikan hak
demokrasi Mesir yang disandera militer pimpinan Jenderal Abdul Fatah Al Sisi
serta mengecam pembantaian Muslim pro-Mursi.
Demikian kutipan liputan Kompas (23/8). Dalam
berbagai berita lain disebutkan bahwa tokoh-tokoh salah satu partai mendesak
Presiden SBY untuk menarik Duta Besar RI berkuasa penuh di Mesir; SBY juga
didesak agar aktif mendorong dikeluarkannya resolusi PBB untuk bisa menyeret
pimpinan Militer Mesir ke Internasional Criminal Court atau ICC.
Masih belum cukup, dari luar pun ada tekanan untuk
SBY. Republika (22/8) memberitakan bahwa PM Turki, Erdogan dan tokoh politik
Malaysia, Anwar Ibrahim, meminta agar Presiden SBY lebih berperan menangani
kemelut di dunia Arab (jelas yang dimaksud keduanya adalah Mesir, karena
Erdogan secara verbal sudah berkonfrontasi dengan militer dan pemerintahan
interim Mesir).
Berita lain yang dirilis Republika (23/8) lebih
memprihatinkan lagi. KBRI Kairo menyayangkan pemberitaan di salah satu media
online di Indonesia yang menggambarkan adanya sniper yang diarahkan ke Kantor
KBRI Kairo. Dan bahkan, rupanya media online itu memuat foto yang ternyata sama
sekali bukan foto di lokasi KBRI di Distrik Garden City, pusat Kota Kairo,
ataupun Kantor Konsuler KBRI di Distrik Nasr City, Kairo Timur. Selain itu,
KBRI menyayangkan klaim adanya pemuatan foto pasokan sembako dari KBRI Kairo di
Kantor Konsuler Nasr City tersebut sebagai posko kemanusiaan yang dibuka oleh
salah satu LSM. "Perlu kami
tegaskan bahwa KBRI Kairo adalah institusi pemerintah yang bebas dari
kepentingan-kepentingan kelompok atau golongan, dan tidak diperkenankan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan kelompok tertentu," demikian KBRI.
Ulama asal Mesir yang banyak dipuja kaum muslimin
Indonesia, Syekh Qaradhawi pun secara eksplisit menyebutkan nama Indonesia
dalam seruannya kepada kaum muslimin seluruh dunia untuk berjihad mengembalikan
‘kebenaran’, yaitu mengembalikan Mursi yang telah dikudeta oleh militer ke
kursi kepresidenan.
Hal-hal yang saya kutip di atas menunjukkan adanya
upaya yang cukup masif untuk menyeret Indonesia, negara muslim terbesar di
dunia, ke dalam konflik Timur Tengah. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dalam hal ini? Bagaimana sebaiknya kebijakan LN Indonesia di Timur
Tengah?
Publik selama ini (terutama di jejaring sosial)
mengecam presiden yang seolah cuma bisa ngomong ‘prihatin’ atau ‘menyerukan
agar semua pihak menahan diri’. Kalau ngomong gitu aja sih semua juga
bisa! demikian kata sebagian orang.
Benarkah demikian?
Dalam Forum Group Discussion yang diselenggarakan
Kemenlu (Direktorat Timur Tengah-Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika)
di Museum Konperensi Asia Afrika (28/8), ada beberapa catatan menarik yang saya
ambil, yang bisa menjawab pertanyaan di atas (catatan ini hasil refleksi saya
pribadi, bukan notulensi dari jalannya diskusi).
Pertama, perumusan kebijakan LN memang memang harus
mempertimbangkan kehendak rakyat. Masalahnya, kehendak rakyat yang mana?
“Rakyat” yang suaranya terdengar nyaring (karena memiliki jaringan media dan
kekuatan politik) atau rakyat yang silent majority? Secara teori, kebijakan LN
suatu negara haruslah ditujukan untuk mengamankan kepentingan dalam negerinya.
Apakah artinya tidak boleh peduli dengan urusan negara lain? Tentu saja tidak
demikian. Logikanya, membantu orang lain tidak boleh sampai menyengsarakan
rumah tangga sendiri. Ada satu komitmen yang dipegang teguh bangsa ini sejak
awal kemerdekaan, yaitu menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi. Karena
itulah Indonesia dengan tegas mendukung Palestina, satu-satunya negara terjajah
yang tersisa di muka bumi ini.
Namun, bagaimana bentuk dukungannya? Apa dengan
mengirim pasukan perang ke Palestina dan bertempur melawan Israel? Tentu saja
itu langkah konyol, karena pertimbangan SDM, dana, dan struktur politik
internasional hari ini. Kasusnya sama seperti Iran, yang sering dicela,
‘ngomong aja bela Palestina, tapi kok ga kirim pasukan ke Israel?’ Saya pernah
menulis analisisnya di sini.
Jadi bila Presiden Indonesia hanya bisa ‘menghimbau’
dan ‘prihatin’, sebenarnya ini adalah hasil kalkulasi yang cukup panjang dari
para staf ahli di bidang kebijakan luar negeri. Apalagi, perlu diketahui juga bahwa
inilah bahasa diplomasi. Sekedar kata prihatin (consern) atau mengecam
(condemn) pun harus dipilih baik-baik karena bisa menimbulkan dampak yang
sangat besar bagi kepentingan nasional. Sebuah negara akan sangat tersinggung
bila presiden negara lain nekad memakai kata ‘condemn’. Misalnya saja, pemerintah kita menurut begitu
saja pada tekanan kelompok tertentu, lalu nekad menggunakan kata ‘condemn’ dan
menarik Dubes RI dari Mesir, apa yang akan terjadi? Banyak kemungkinannya, dan
itu semua harus dipertimbangkan baik-baik, jangan sampai merugikan kepentingan
bangsa Indonesia (misalnya, bagaimana nasib warga Indonesia di Mesir, bagaimana
nasib kerjasama ekonomi Indonesia-Mesir, berapa besar dana yang dibutuhkan bila
terjadi pengusiran WNI dari Mesir, dll).
Dan, saya pikir, Indonesia juga harusnya tersinggung
ketika Erdogan dan Anwar Ibrahim ‘mengajari’ Indonesia bagaimana harus
bersikap. Sebenarnya ini tidak sopan banget. Secara diplomatik, sikap Erdogan
yang frontal terhadap militer Mesir dan rezim Assad, sebenarnya melanggar etika
dan membahayakan kepentingan nasional Turki sendiri. Tentu saja, dengan gayanya
itu Erdogan dielu-elukan sebagian kaum muslimin dunia (bahkan disebut
‘khalifah’). Tapi, tinggal berhitung saja, seberapa besar uang dan energi yang
dikeluarkan Turki untuk berkonfrontasi dengan Mesir dan Suriah? Siapa yang
diuntungkan, Erdogan dan partainya (yang berideologi Ikhwanul Muslimin), atau
kepentingan nasional Turki secara keseluruhan?
Kedua, perumusan kebijakan LN harus dilakukan
melalui pemetaan yang tepat terkait kepentingan, isu, dan aktor di kawasan,
agar Indonesia tidak hanya mengikuti arus. Saya pernah menulis kritikan atas
pernyataan SBY yang ‘meminta Assad mundur’. Jelas pernyataan ini tidak
didasarkan pada pemetaan yang tepat. Benarkah Assad yang menjadi akar konflik
sehingga bila dia mundur semua konflik selesai? Selain itu, seperti saya tulis
di atas, sekedar consern dan condemn saja, harus dipikir matang-matang, tapi
ini malah benar-benar intervensi (menyuruh presiden negara lain mundur).
Saya lupa menyampaikan kritikan ini dalam diskusi
tersebut, jadi saya tidak mendapat jawaban, mengapa SBY sampai mengeluarkan
pernyataan itu. Analisis saya sendiri, ini adalah bagian dari politik
pencitraan SBY karena tekanan publik memang sangat besar untuk kasus Suriah.
Apalagi di awal-awal konflik, opini dunia memang cenderung homogen, dan agak
sulit memetakan konfliknya, baru setelah aksi terorisme semakin masif dan
aksi-aksi sadis direkam dan diupload di you tube, sebagian publik bisa melihat
apa yang sebenarnya terjadi di Suriah.
Tapi untuk selanjutnya, sikap pemerintah Indonesia
terkait Suriah dan Mesir, menurut saya, sudah tepat. Misalnya, untuk kasus
Mesir, Presiden SBY meminta WNI untuk terus berkoordinasi dengan KBRI dan
jangan melibatkan diri dalam konflik. Menlu Marty Natalegawa ‘mendesak semua
pihak di Mesir untuk menghormati hak asasi manusia dan menyelesaikan masalah
dengan cara-cara damai serta konstitusional.’
Apakah ini artinya Indonesia tidak peduli pada nasib
ratusan aktivis IM yang dibunuh dan ratusan lain yang ditahan militer? Tentu
saja kita semua peduli dan prihatin. Tapi, pengungkapan keprihatinan itu dalam
bentuk apa? Ini yang harus dipertimbangkan baik-baik (balik lagi ke penjeasan
saya sebelumnya). Selain itu, pemetaan konflik Mesir sebenarnya menunjukkan bahwa
ini adalah pertarungan politik. Tapi, sebagian kelompok muslim di Indonesia
berusaha menyeretnya ke pertarungan ideologi (agama). Sudah banyak diketahui,
sikap simpatisan IM yang gemar menuduh pihak yang tidak mendukungnya sebagai
liberal, Syiah, atau bahkan kafir (setidaknya, inilah yang dengan gencar
disuarakan media-media mereka). Di sini ada potensi besar konflik yang akan
muncul di dalam negeri Indonesia, bila pemerintah RI ikut-ikutan berkonflik.
Untuk kasus tuduhan senjata kimia di Suriah, yang
dijadikan dalih bagi rencana intervensi militer AS, Menlu Marty juga memberikan
pernyataan yang tepat, yaitu mengecam penggunaan senjata kimia di Suriah yang
mengakibatkan jatuhnya korban warga sipil. Marty tidak melemparkan tuduhan
apapun, dan mengatakan, “Masyarakat internasional juga perlu memastikan agar
pelaku tindakan tidak berperikemanusiaan tersebut mempertanggungjawabkan
perbuatannya.” Ya, memang seharusnya demikian. Tragedi serangan senjata kimia
di Suriah harus diselidiki dan pelakunya harus dihukum setimpal.
Ketiga, pemerintah-lah yang seharusnya membentuk
opini publik terkait Timur Tengah, bukan organisasi-organisasi radikal.
Lagi-lagi, ini demi kepentingan nasional. Selama ini, yang sangat masif
membentuk opini publik terkait Timteng di masjid-masjid, di kampus-kampus, dan
jejaring sosial adalah organisasi-organisasi Islam transnasional, sebut saja
Hizbut Tahrir (HT) dan para simpatisan Ikhwanul Muslimin (IM). Sebagai muslim
saya tentu saja sepakat dengan ide-ide perjuangan kaum muslimin melawan
penindasan kaum Zionis. Namun masalahnya, akhir-akhir ini, ide perjuangan itu
justru telah bergeser menjadi seruan pertempuran melawan sesama muslim.
Misalnya saja, dalam kasus Suriah, yang memberontak terhadap rezim Assad adalah
IM Mesir dan HT Suriah. Dan mereka sama-sama menggunakan isu Syiah untuk memicu
eskalasi konflik (Assad diperangi dengan tuduhan bahwa dia Syiah dan kejam
terhadap Sunni). Untuk menyelaraskan dengan agenda perjuangan kaum muslimin
melawan Zionis, dibuatlah narasi ‘Syiah itu sama saja dengan Zionis’.
IM Indonesia dan HT Indonesia mencopy-paste narasi
ini untuk disebarluaskan di Indonesia. Kebencian terhadap Syiah mereka
sebarluaskan, termasuk kepada pemeluk Syiah Indonesia (=saudara sebangsa). Apa
yang bisa diharapkan dari propaganda sektarian seperti ini, selain pada
akhirnya memecah-belah bangsa sendiri? Ketika publik ribut melulu soal
sektarian, sibuk mencurigai keimanan orang lain, bagaimana bangsa Indonesia
bisa bergerak maju?
Syukurlah, dalam rekomendasi akhir diskusi tersebut,
disepakati bahwa, Kemenlu perlu ‘menjangkau publik di dalam negeri melalui
perguruan tinggi, lembaga riset, dan media sosial agar memiliki pemahaman yang
seimbang atas perkembangan di Timur Tengah.’
Semoga saja rekomendasi ini ditindaklanjuti dalam
langkah-langkah nyata. Publik perlu mengetahui bagaimana sebenarnya pemetaan
konflik versi pemerintah dan perlu penjelasan, apa benar kebijakan LN yang
diambil pemerintah terkait Timteng adalah demi kebaikan mayoritas rakyat?
Intinya, komunikasi Kemenlu dengan publik perlu lebih intensif, agar publik
menerima narasi yang berimbang, tidak melulu dicekoki narasi dari
kelompok-kelompok radikal.
RESENSI.
Materi kuliah
Politik Global SJ B5 Bp. Nur Samsudin IAIN WALISONGO SEMARANG
0 komentar:
Posting Komentar