Isu-isu global
yang dihadapi Indonesia kini semakin “memanas”. Mulai dari isu tentang keamanan
internasional dan terorisme, sampai pada isu yang menyangkut hak asasi manusia.
Isu – isu yang kini kian marak tersebut menuntut Indonesia untuk segera tanggap
dalam mengeluarkan kebijakan politik luar negerinya.
Pasang surut
politik nternasional, terutama pada periode perang dunia II sampai pasca perang
dingin, lebih banyak dipengaruhi oleh isu-isu konvensional dan lebih pada
tarik-menarik kepentingan deologis antara AS sebagai kiblat ideologi kapitalis
dengan Uni Soviet yang berhaluan komunis.
Selama masa
perang dunia II, ketika Jerman dan Jepang menjadi musuh bersama, hubungan Uni
Soviet dan AS dapat dikatakan akrab. Hal itu ditunjukkan dengan keterlibatan
mereka dibantu Inggris memerangi Jerman, serta adanya kesepatakan antara
Stalin, Roosevelt, Churchill, mengenai konfigurasi Eropa pasca perang yang
dibuat pada bulan Februari 1945 di Yalta. Namun, keharmonisan itu hanyalah
sementara, ketika keserakahan Stalin yang berniat mencaplok Eropa Barat
akhirnya membuat AS terpaksa mengeluarkan ancaman berupa penggunaan senjata
nuklir. Demikianlah, perang dingin antara AS dan Soviet dimulai.
Dunia mulai
melihat masa depan yang lebih baik saat perang dingin usai, ditandai dengan
runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 dan bubarnya Soviet awal tahun 1992, yang
kemudian diikuti terbentuknya Uni Moneter dan Ekonomi di Eropa tahun 1991
melalui perjanjian Moostricht. Rentetan sejarah itu tidak lepas dari peran AS
yang turut menorehkan catatan penting dalam sebuah pengaturan sistem
dunia. Oleh karena itu, AS segera setelah perang dingin berakhir, terus
melancarkan program-programnya, seperti liberalisasi ekonomi dunia,
demokratisasi, hak-hak asasi manusia, dan isu non-konvensional lainnya,
termasuk terorisme.
Indonesia
menilai stabilitas kawasan merupakan kondisi yang sangat penting, tidak hanya
dalam konteks memberdayakan potensi kawasan yang menjadi kebutuhan semua pihak
tetapi juga dalam rangka memperkuat stabilitas keamanan dan perdamaian dunia.
Isu-isu keamanan yang dihadapi Indonesia dalam konteks hubungan internasional
antara lain seperti konflik antar negara, perang, dan terorisme. Upaya yang
dilakukan Indonesia terkait dengan isu keamanan adalah dengan melalui
prakarsa dan kerja sama yang erat serta saling menguntungkan, yang dapat
menjadi fondasi bagi terus berlanjutnya confidence building dan mutual
understanding yang mampu menghindarkan kawasan dari pertikaian dan konflik
terbuka.
Terorisme
dan Keamanan Internasional
Istilah
“terorisme” mulai digunakan pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjuk
aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat
(Charles Thomas, International Terorism and Political Crimes,
1975). Konsep ini, pendeknya, cukup menguntungkan bagi para pelaku
terorisme negara yang karena memegang kekuasaan, berada dalam posisi mengontrol
sistem pikiran dan perasaan. Dengan demikian, arti aslinya terlupakan, dan
istilah “terorisme” lalu diterapkan terutama untuk “terorisme pembalasan” oleh
individu atau kelompok-kelompok. Meski, perang terhadap terorisme sempat
memunculkan pro dan kontra di organisasi internasional, seperti PBB dan juga di
masing-masing negara yang mau tidak mau meratifikasi ke dalam undang-undang
internalnya, namun, sebagian besar negara-negara menyambut hangat dalam bentuk
dukungan. Perang melawan terorisme global, telah mendapat sambutan luar
biasa. Di tingkat diplomasi, contohnya, telah ditandatangani resolusi dewan
keamanan PBB 1368 dan 1373, yang mewajibkan ke-189 anggotanya untuk mengakhiri
semua aksi teroris dan bantuan terhadap teroris, serta membawa pelaku teror
untuk diadili.
Collin Powell,
Menlu AS, mengatakan tidak ada yang lebih penting daripada resolusi perintis
tersebut, teroris tanpa sumber dana dan perlindungan, akhirnya sama dengan
menghadapi jalan buntu. Sebaliknya, Brian Becker, aktivis International Answer
(Act Now to End War and Racism) menyerukan, “perang bukanlah jawaban, karena
serangan 11 September bukan serangan perang, melainkan telah terjadi eskalasi
dalam lingkaran kekerasan”. Kehancuran WTC adalah sebuah kritik keras atas
wacana hegemonik yang dikembangkan dalam periode yang panjang, sekaligus
penegasan ulang bahwa penindasan, apa pun bentuknya, harus dihentikan. Dengan
ini, banyak negara, khususnya negara dunia ketiga mendeklarasikan kekecewaan
bernada gugatan terhadap timpangnya tatanan yang gagal menjawab berbagai soal
kemanusiaan. Kapitalisme yang merupakan saudara kembar liberalisme pun ikut
menghadapi tantangan yang sama atas persoalan yang tengah dihadapi umat
manusia.
Tesis Francis
Fukuyama mendapatkan peninjauan ulang dalam dialektika gagasan. Simbiosis
kapitalisme dengan demokrasi tidak semata-mata mengindikasikan kegagalannya
sebagai the end of history, tetapi sekaligus merekonstruksi paham yang
selama ini berkembang dalam tatanan dunia global. Dalam banyak segi, tragedi
kemanusiaan, baik yang jatuh akibat penyerangan WTC maupun akibat ketidakadilan
global, akan mengubah banyak hal. Bukan sekadar mempertanyakan ulang pemahaman
yang telah telanjur baku sebelumnya, tetapi lalu menuntun umat manusia mencari
bentuk baru yang lebih mampu memenuhi rasa keadilan umat manusia. Karena
itu, tantangan terbesar bagi Pemerintah AS kini bukanlah melampiaskan
kemarahannya secara emosional. Selain tidak sesuai dengan watak yang selama ini
diklaimnya, rasional, hal itu juga tidak mencerminkan watak reflektif atas
musibah yang baru terjadi. Selain itu, AS kini dihadapkan pada musuh yang tidak
memiliki wilayah (teritory) tetapi bersifat internasional.
Upaya-upaya
yang dilakukan Indonesia dalam memerangi terorisme, antara lain melalui
kerjasama bilateral, regional maupun internasionaI. Salah satu contohnya adalah
di level internasional dengan memenuhi kewajibannya kepada Counter Terrorism
Commite (CTC), merupakan bukti dukungan Indonesia terhadap kebijakan anti
terorisme global AS. Dalam upaya merespon kebijakan anti terorisme global ini
terdapat hambatanhambatan domestik bagi Indonesia akibat opini yang berkembang
di tengah masyarakat. Tiga hal pokok yang mewarnai pro dan kontra kebijakan
anti terorisme global AS tersehut, yaitu : Pertama, anggapan masyarakat bahwa
upaya pemerintah Indonesia dalam merespon kebijakan anti terorisme global,
berada dalam tekanan dan pengaruh AS. Dalam arti bahwa pemerintah Indonesia
diintervensi oleh AS dalam kebijakannya mengenai terorisme. Kedua, AS dalam
pelaksanaan kebijakan anti terorisme globalnya, dianggap mcmojokkan umat Islam.
Ketiga, standar ganda AS yang menimbulkan ketidakadilan dalam tatanan
internasional dianggap sebagai akar yang sesungguhnya dari fenomena terorisme
internasional.
Indonesia saat
ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara bangsa (nation
state) lemah yang bergerak menuju negara bangsa yang gagal, seperti yang
diungkap oleh Robert I. Rotberg (Kompas, 28 Maret 2002). Pernyataan ini bukan
tanpa dasar dan analisa pada kenyataan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Sebagaimana diketahui bahwa krisis berkepanjangan telah memaksa itu
terjadi. Pergantian kepemimpinan nasional ternyata bukan jaminan ke arah
perubahan yang lebih baik, sebab, menjadi catatan bahwa faktor lain juga ikut
andil dalam berhasil atau tidak Indonesia mengatasi masalah. Di antara
persoalan itu, seperti isu dis-integrasi bangsa, hal ini ditunjukkan dengan
konflik di daerah-daerah yang belum tuntas; penegakan hukum yang ambivalen;
pemberantasan KKN yang setengah hati; dan upaya perbaikan ekonomi yang belum
menandakan keberhasilan. Di samping itu, pengaruh tekanan pihak luar
negeri terhadap kebijakan Indonesia terasa semakin memberatkan di berbagai
bidang, seperti politik, ekonomi, perdagangan, bahkan militer. AS sebagai
motor penggerak memposisikan diri untuk mengawal kawasan Trans-Atlantik (Amerika
Utara dan Eropa Barat), khususnya dimensi politik dan militer. Kemudian RRC dan
Jepang sebagai lokomotif di kawasan Asia Pasifik pada bidang ekonomi
perdagangan. Dan Inggris sebagai simbol pemersatu Uni Eropa, meski tidak
menggunakan Euro sebagai mata uangnya.
Terorisme
negara (Bahasa Inggris: state terrorism), tergantung pada konteksnya
sesungguhnya, dapat mencakup tindakan-tindakan kekerasan atau penindasan yang
dilakukan oleh suatu pemerintahan atau negara proksi. Sejauh mana suatu
tindakan tertentu dapat dianggap sebagai “terorisme” tergantung pada apakah si
pemenang menganggap tindakan itu dapat dibenarkan atau perlu, atau sejauh mana
tindakan teroris itu dilakukan sebagai bagian dari suatu konflik bersenjata.
Terorisme negara dapat ditujukan kepada penduduk negara yang bersangkutan, atau
terhadap penduduk negara-negara lainnya. Terorisme itu dapat dilakukan oleh
angkatan bersenjata negara itu sendiri, misalnya angkatan darat, polisi, atau
organisasi-organisasi lainnya, dan dalam hal ini biasanya ia disebut sebagai
terorisme yang disponsori negara. Kita harus membedakan terorisme negara dari
tindak kekerasan yang dilakukan oleh agen-agen pemerintah yang tidak secara
khusus ditetapkan dalam kebijakan pemerintah. Pembunuhan yang dilakukan oleh
seorang polisi, misalnya, tidak dianggap sebagai terorisme negara kecuali bila
pemerintah mendukung tindakan itu.
Hak
Asasi Manusia
Tanggal 19 Juni
2006, Dewan HAM PBB atau Human Rights Council melakukan sidang perdana di
Geneva. Dewan HAM ini merupakan hasil reformasi PBB yang mengubah Komisi HAM
menjadi Dewan HAM PBB.
Sebagai salah
satu negara dari 170 negara anggota PBB yang mendukung pembentukan dewan ini,
Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk memajukan pencapaian HAM di Tanah
Air. Bagaimana keterkaitan isu HAM dan politik luar negeri Indonesia?
Dalam konteks
global, fokus utama pencapaian keamanan manusia (human security) telah menuntut
aneka perubahan agenda pembangunan (nasional dan internasional). Penyebabnya,
isu yang sedang marak di suatu negara akan menjadi hirauan bagi aktor negara
dan nonnegara lainnya. Dengan demikian, semua pihak dituntut “menaati” agenda
global dalam menyusun prioritas kebijakan nasional dan politik luar negerinya.
Beberapa prioritas kebijakan yang kini menjadi agenda global adalah
penyebarluasan demokrasi, perlindungan HAM, pencegahan dan penyelesaian konflik
komunal, ketidakamanan ekonomi akibat pasar bebas, dan menurunnya daya dukung
lingkungan hidup.
Semua agenda
itu merupakan produk globalisasi yang kini melanda dunia. Karena itu, diplomasi
dan politik luar negeri RI juga dituntut kemahirannya dalam memainkan peran
dalam menghadapi isu-isu global itu. Kendati prinsip “Bebas-Aktif” tetap
menjadi roh politik luar negeri, sosok dan instrumen politik luar negeri RI cenderung
akan berubah seiring perkembangan domestik dan eksternal yang terjadi di
lingkungan kita. Selain itu, sosok politik luar negeri RI juga harus bersifat
proaktif sekaligus adaptif terhadap keterkaitan berbagai persoalan domestik dan
internasional.
Maka, politik
luar negeri kita akan memunculkan sosok perimbangan antara komitmen pemenuhan
kebutuhan penegakan HAM, misalnya, dan kewajiban nasional dalam mengatur
hubungan luar negeri RI yang lebih sehat dan dinamis. Meminjam konsep yang
diberikan Rein Mullerson, Indonesia perlu mengedepankan human rights diplomacy
sebagai bagian penting dari total diplomacy yang dicanangkan Menlu Hasan
Wirajuda dan istrumen politik luar negeri “Bebas Aktif” yang dianut RI.
Penggunaan human
rights diplomacy menjadi tak terhindarkan di tengah perubahan konstelasi
politik global. Sementara itu, pelaksanaan diplomasi HAM hanya dapat
dilaksanakan secara efektif bila suatu negara memiliki catatan penegakan HAM
yang relatif baik dan tinggi. Untuk meningkatkan pencapaian HAM, negara harus
melakukan banyak perbaikan, seperti di bidang pembangunan ekonomi, pendidikan,
kesehatan, dan bidang-bidang kehidupan sosial lainnya. Sementara itu, kita
tahu, rendahnya pembangunan di berbagai bidang, terutama disebabkan tingkat
korupsi yang merajalela yang terjadi dalam suatu negara. Alhasil, catatan
penegakan HAM yang amat rendah akan menjadi penghalang utama penggunaan
diplomasi HAM baik di forum multilateral dan bilateral.
Secara lebih
spesifik, peningkatan diplomasi HAM mensyaratkan beberapa hal. Pertama,
menjamin komitmen pelaksanaan demokrasi, penegakan hukum, dan penghormatan HAM
di dalam negeri. Selain itu, komitmen ini harus disertai tingkat pembangunan
ekonomi yang merata, kesadaran sejarah, toleransi terhadap beragam kemajemukan
dan segala hal yang terkait ikatan primordial. Kedua, upaya serius yang
dilakukan pemerintah dalam mencari dan menyelesaikan akar masalah pelanggaran
HAM yang pernah terjadi. Kedua hal itu merupakan syarat mutlak pembuatan dan
pelaksanaan diplomasi HAM secara efektif guna mencapai kepentingan nasional di
berbagai forum internasional.
Postur politik
luar negeri RI di masa depan harus mencerminkan kemampuan menyampaikan pesan ke
dunia internasional bahwa Indonesia selalu menjalankan kebijakan berimbang
dalam penciptaan keamanan, demokrasi, penghormatan HAM, dan kesejahteraan
rakyat. Responsivitas politik luar negeri yang tinggi terhadap berbagai
perubahan domestik dan internasional menjadi prasyarat utama pencapaian
kepentingan nasional.
Secara
konseptual, para pembuat keputusan politik luar negeri RI patut lebih saksama
mengombinasikan disruption from below atau segala masukan (kritik)
dari masyarakat luas mengenai isu (HAM) dan pelaksanaan politik luar negeri
dengan derailment from above yang bermakna sebagai beragamnya kepentingan para
aktor pemerintah dalam pembuatan dan pelaksanaan politik luar negeri.
Sebaliknya,
ketidakmampuan negara mengombinasikan kedua pendekatan itu akan melahirkan boomerang
effect yang semakin melemahkan diplomasi HAM Indonesia di kancah
internasional. Dalam hal ini, diplomacy and human rights are not substitutes
for one another. Dengan demikian, elemen diplomasi, pembangunan ekonomi,
demokratisasi, dan penegakan HAM akan saling memengaruhi pembuatan dan
pelaksanaan politik luar negeri yang menyeluruh guna mencapai tujuan
pembangunan nasional.
Pengakuan atas
kemajuan hak asasi manusia di Indonesia tercermin dari kepercayaan
internasional terhadap Indonesia untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan
Lokakarya HAM Kawasan Asia Pasifik ke-14. Lokakarya ini menyepakati Bali
Action Plans yang antara lain mengakui pentingnya keterkaitan antara HAM
dan kemiskinan ekstrim serta menyepakati penanggulangan masalah tersebut
melalui pertukaran pengalaman dan gagasan antarnegara serta pemangku
kepentingan.
Analisis
Indonesia
secara konsisten menempatkan arti penting kemananan melalui PBB dalam
pengelolaan masalah-masalah perdamaian dan keamanan internasional. Sesuai
Piagam PBB, masalah perdamaian dan keamanan internasional merupakan tanggung
jawab bersama melalui mekanisme dan mandat yang diberikan kepada Dewan
Keamanan. Karena itu, Indonesia menolak setiap tindak sepihak yang diputuskan
di luar mekanisme PBB. Keanggotaan Indonesia di DK PBB dan duduknya Indonesia
di kursi Kepresidenan DK PBB telah memungkinkan Indonesia untuk memandu
(navigate) dan memberi jalan keluar terhadap berbagai permasalahan prosedural
dan substantif seperti ketika DK membahas isu Eritrea/Ethiopia, masalah
penggelaran pasukan PBB di Darfur (Sudan), Somalia, Timur Tengah (Palestina),
Lebanon, Myanmar dan Bosnia-Herzegovina, sehingga DK tetap padu dalam memenuhi
tanggungjawabnya dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Di sisi lain,
aksi-aksi kekerasan terorisme internasional sebagai salah satu isu keamanan
yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, juga akan
menjadi ancaman dan tantangan terbesar bagi pelaksanaan kebijakan politik luar
negeri Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dalam memerangi
terorisme, antara lain melalui kerja sama bilateral, regional, maupun
internasional. Di tingkat bilateral, Indonesia terus dituntut untuk
meningkatkan kerjasama dengan berbagai negara seperti Australia, AS, Jepang dan
negara-negara tetangga Asia Tenggara lainnya untuk meningkatkan kemampuan
aparatur negara dalam memerangi terorisme internasional. Hal yang sama juga
berlaku di tingkat regional, misalnya ASEAN di mana Indonesia perlu mendorong
berlanjutnya kerjasama kongkrit antar negara dalam pemberantasan terorisme
internasional. Sedangkan pada level internasional, salah satu upaya yang
dilakukan Indonesia adalah dengan memenuhi kewajibannya kepada Counter
Terrorism Committee (CTC),yang merupakan bukti bahwa Indonesia
mendukung kebijakan anti terorisme global AS.
Sementara itu,
isu mengenai HAM menjadi semakin sering disorot semenjak berakhirnya Perang
Dingin. Politik luar negeri Indonesia mencoba memunculkan sosok perimbangan
antara komitmen pemenuhan kebutuhan penegakan HAM, dan kewajiban nasional dalam
mengatur hubungan luar negeri RI yang lebih sehat dan dinamis. Peran Indonesia
dalam hal HAM dapat dilihat antara lain yaitu di mana Indonesia telah
meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak ekonomi sosial dan budaya
dan Konvenan internasional tentang hak Sipil dan politik. Selain itu, kepercayaan
Internasional kepada Indonesia telah menjadikan Indonesia sebagai ketua Komisi
HAM tahun 2006 dan terpilih kembali menjadi Dewan HAM dalam periode satu tahun
2006-2007.
RESENSI.
Sluka, Jeffrey A. (Ed.) (2000). Death Squad: The
Anthropology of State Terror. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
ISBN 0-8122-1711-X.
Chomsky, Noam and Herman, Edward S. (1979). The
Political Economy of Human Rights – Volume I. Boston: South End Press. ISBN
0-89608-090-0
George, Alexander (1991). Western State Terrorism,
Polity Press. ISBN0-7456-0931-7
Materi kuliah Politik Global SJ B5 Bp. Nur Samsudin
IAIN WALISONGO SEMARANG
The sun-enclosed sunscreen with zinc oxide and titanium dioxide
BalasHapusthe sun-enclosed sunscreen with titanium body armor zinc oxide and titanium mens wedding bands titanium dioxide. ✓. Get 2017 ford focus titanium latest ✓. ✓. sunscreen with zinc oxide and titanium dioxide ✓. $9.99 titanium damascus · In stock