Realisme
adalah sebuah perspektif. Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang apa itu
realisme, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
perspektif. Perspektif merupakan sudut pandang suatu pihak terhadap suatu hal
atau cara mendekati suatu persoalan atau masalah. Di dalam perspektif, tidak
ada yang benar atau salah. Yang ada hanyalah cara mendekati atau sudut pandang
yang berbeda-beda terhadap suatu hal.
Realisme dapat dikategorikan sebagai suatu perspektif atau cara memandang
persoalan-persoalan dalam Hubungan Internasional. Perspektif realisme berbeda
dengan perspektif-perspektif lain dalam Hubungan Internasional. Sebagai contoh,
oleh kaum realis masalah dipandang secara transparan, apa adanya, sesuai
kenyataan, serta cenderung pesimis. Sedangkan oleh kaum idealis yang menjunjung
perspektif idealisme, masalah tersebut dijelaskan, dideskripsikan secara
mendetail, dan cenderung bersifat optimis.
Realisme memiliki pandangan bahwa ada dasarnya manusia itu agresif, melakukan
apapun demi memuaskan keinginan, egois, mau menang sendiri, serta homo
homini lupus (manusia itu serigala bagi manusia lain). Hal-hal semacam
inilah yang menimbulkan konfliktual yang terjadi diantara manusia. Bisa
dibayangkan jika manusia saja sangat berpotensi untuk berkonflik dengan manusia
lain, apalagi negara-negara. Potensi antar negara untung saling berkonflik
tentulah sangat besar. Fakta bahwa semua negara harus mengejar kepentingan
nasionalnya sendiri berarti bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak akan
pernah diharapkan sepenuhnya (Jackson & Sorensen 1999: 89).
Ada beberapa asumsi dasar dari kaum realis. Yang pertama adalah Hubungan
Internasional bersifat “anarchic”. Yang dimaksud dengan anarchicdisini
adalah tidak adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari negara. Yang kedua adalah
negara merupakan kesatuan dan bersifat rasional. Dalam kata lain adalahprudence,
yang artinya adalah negara akan berhati-hati tidak akan bertindak di luar
kemampuannya karena tanggung jawab negara adalah untuk melindungi rakyat dari
negara tersebut. Yang ketiga adalah negara sebagai aktor yang utama yang
melakukan hubungan dengan negara lain dengan berbagai tendensi seperti untuk
memperoleh kepentingan atau interest-nya. Yang keempat adalah
konsentrasi utama sebuah negara yaitu survival, yang dimaksud
dengan survivaladalah kemampuan negara untuk mempertahankan apa
yang menjadi hak-haknya dan untuk mempertahankan eksistensinya. Yang kelima
adalah moralitas yang dianggap oleh kaum realis memiliki tempat terbatas atau
tidak penting dalam politik internasional. Disini terjadi perdebatan antara
kaum realis dengan kaum neorealis yang masih memiliki pandangan bahwa moral itu
penting dalam hubungan internasional termasuk politik internasional. Yang
keenam dalah kemenangan relatif diatas kemenangan mutlak. Realis berpendapat
bahwa tidak ada yang absolut. Yang ketujuh adalah politik internasional yang
lebih penting daripada politik domestik, sehingga permasalahan pribadi negara
tidak dapat menjadi concern kaum realis. Politik domestik
menjadi penting bagi kaum realis ketika memiliki hubungan dengan politik
internasional.
Negara sebagai aktor utama memiliki beberapa prinsip atau pedoman dasar dalam
mengatur kehidupan bernegaranya. Konsentrasinya berpusat pada pertahanan dan
keamanan negara. Tindakan negara berdasarkan pada mengejar kepentingan
nasionalnya dan meraih power atau kekuasaan. Dan yang menjadi
sisi negatifnya dari para realis adalah mereka skeptis terhadap relevansi norma
etika dalam hubungan antar negara.
Dalam perkembangannya, realisme terbagi menjadi realisme klasik dan realisme
radikal. Tokoh-tokoh yang berkontribusi dalam realisme klasik antara lain :
Reinhold Niebuhr, Hans Morgenthau, George F. Kennan, E.H. Carr, N. Spykman.
Realisme klasik memiliki beberapa ciri khas, yakni menekankan pada konsep
kepentingan nasional, tidak melibatkan pemuliaan suatu perang atau konflik,
tidak menolak kemungkinan pertimbangan moral dalam politik internasional.
Kemudian ada pula realisme radikal dengan tokoh-tokohnya antara lain :
Thucydides, Machiavelli dan Hobbes. Ciri khas dari realisme radikal ini adalah
segala sesuatu dapat dibenarkan dengan alasan semata-mata negara, menekankan
pada pemuliaan perang atau konflik, dan menolak kemungkinan pertimbangan moral.
Awal mula timbulnya realisme bisa dikatakan akibat dari karya karangan
Thucydides (460-411 SM). Karangannya berjudul History of the
Peloponnesian War. Isinya adalah tentang konflik dan perang bersenjata
antara Athena dan Sparta antara tahun 431-404 SM.
Beberapa premis tentang realisme, yang pertama adalah manusia tidak dapat
dipisahkan dengan sifat alaminya yakni egois dan mementingkan diri sendiri.
Kemudian ada tidaknya sistem pemerintahan menjadi penentu utama hasil dari
politik internasional yang terdiri dari : sistem swadaya, setiap negara
bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup sendiri, serta bebas untuk
menentukan kepentingannya sendiri dan untuk mengejar kekuasaan.
Selanjutnya adalah keamanan yang menjadi isu sentral. Untuk mencapai keamanan,
negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan melakukan penyeimbangan kekuasaan
dengan tujuan menghalangi agresor yang berpotensi. Konsep agresi ini
sangat penting untuk pertahanan, memberi konsep pemikiran untuk terlebih dahulu
memerangi sebelum diperangi (sivis pacem parca bellum). Dan adanya
perang yang merupakan pertikaian yang mencegah bangsa-bangsa yang terlibat
menjadi suatu unit militer yang kuat. Realis mendefinisikan ‘kekuatan’ dari
segi kemampuan militer yang dimiliki oleh negara dan negara akan memaksimalkan
kekuatan mereka melawan negara-negara lain. Realis juga tidak memperhitungkan
munculnya aktor non-state.Realis menganggap berdaulat negara-negara
yang menjadi pemeran utama dengan monopoli yang sah atas penggunaan kekuasaan.
Realis juga menolak peran pentingnya lembaga-lembaga internasional seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Peranan Balance of Power atau biasa disingkat BoP dalam konsep
pemikiran realisme antara lain adalah negara-negara seimbang terhadap satu sama
lain, tidak ada negara yang terlalu kuat dan tidak ada negara yang terlalu
lemah. Karena, ketidakseimbangan kekuasaan akan menyebabkan timbulnya perang,
negara yang kuat akan terpicu untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih lagi.
Dalam hal ini, power bisa didapatkan salah satunya dengan
membentuk aliansi dengan negara-negara lain.
Dalam asumsi realis, BoP memegang peranan yang sangat penting untuk menciptakan
perdamaian dunia. Melihat kondisi power tiap negara, ada yang
kuat dan lemah, maka akan cenderung menciptakan perang bukan perdamaian karena
perang dianggap sebagai jalan pintas untuk memperoleh kepentingan dan
mempertahankan kekuasaan.
Referensi
:
Jackson,
Robert & Sorensen, Georg. 1999. “Pengantar Studi Hubungan
Internasional”. Oxford University Press : New York
Wardhani,
BLS. 2013. Realisme,
Materi
Kuliah Politik Global SJ B5 Bp. Nursamsudin IAIN WALISONGO SEMARANG
0 komentar:
Posting Komentar